Majalah BADAR Nomor 4
HATI-HATI KELAS ILEGAL
Memiliki titel atau
gelar akademik sejatinya merupakan sebuah kebanggaan. Bagaimana tidak bangga,
karena untuk mendapatkan titel tersebut, seseorang harus melalui sebuah rentang
perjuangan yang melelahkan. Mulai dari test saat pendaftaran, opspek, mengikuti
jadwal perkuliahan yang ketat, melengkapi berbagai tugas, hingga akhirnya harus
berhadapan dengan para penguji pada berbagai jenis sidang.
Sebuah karya tulis
ilmiah, skripsi atau thesis, menjadi salah satu saksi, bagaimana seseorang
melalui semua itu dengan cucuran peluh. Belum lagi jika menghitung biaya dan
waktu yang tersita. Intinya, sangat wajar jika seseorang bangga dengan titel
yang dimilikinya, karena memang untuk mendapatkan titel tersebut tidaklah
mudah. Maka wajar pula, ketika suasana mengharu-biru selalu saja hadir dalam
setiap perhelatan wisuda.
Namun sayangnya, selalu
saja ada manusia yang merusak keindahan perjuangan manusia lain. Ketika
sebagian mahasiswa begitu menikmati tetes demi tetes keringat demi sebuah gelar
akademik, ada manusia lain yang justru menawarkan berbagai hal pragmatis.
Misalnya dengan cara menawarkan ijazah melalui kuliah yang serba mudah. Mereka
menawarkan perkuliahan dengan model yang sebenarnya ilegal, karena perkuliahan
model tersebut dilarang oleh pemerintah. Yang penting bayar, ijazah pasti di
tangan, kuliah dijamin kelar.
Oknum seperti ini bukan
barang baru di dunia Pendidikan Tinggi. Hal tersebut setidaknya kentara dari
sikap pemerintah yang tidak henti-hentinya berusaha memberantas Kelas Ilegal. Biasanya,
Kelas Ilegal ini bersembunyi dalam berbagai istilah. Misalnya saja Program
Khusus, Kelas Eksekutif, Kelas Akhir Pekan, In-House, Kelas Padat, dan lain
sebagainya. Intinya, kuliah mudah, tapi tetap dapat ijazah.
Sejak tahun 1988,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) sudah mengeluarkan
larangan untuk praktik Kelas Ilegal yang saat itu disinyalir dilakukan oleh
beberapa Perguruan Tinggi. Melalui surat bertanggal 7 Januari 1988, Ditjen
Dikti secara tegas menyatakan setiap perguruan tinggi dilarang menyelenggarakan
“Program Khusus”. Ketika itu, Kelas Ilegal banyak bersembunyi di balik istilah
Program Khusus.
Jika merujuk pada surat
yang dikeluarkan oleh Ditjen Dikti tersebut di atas, setidaknya ada tiga
indikator untuk mengukur apakah sebuah perkuliahan termasuk ke dalam kategori
“Program Khusus” atau bukan. Yang pertama, perkuliahan hanya dilakukan dalam
satu atau dua hari secara terus menerus dalam satu minggu. Yang kedua,
penerimaan mahasiswa dari kota yang jauh, yang tidak memungkinkan mengikuti
perkuliahan dengan sistem SKS. Dan yang ketiga, kondisi pengajar yang
diragukan. Jika ada perkuliahan yang memiliki satu saja karakter di atas, maka
perkuliahan tersebut dilarang oleh Dirjen Dikti, karena terkategori Kelas
Ilegal.
Namun sepertinya para
oknum perguruan tinggi pun tidak mau kalah strategi. Ketika pemerintah melarang
“Program Khusus”, mereka kemudian mengganti terminologinya dengan beragam
istilah lain. Hingga kemudian lagi-lagi Ditjen Dikti harus menegaskan melalui
PENGUMUMAN Nomor 1807/D/T/2000, yang salah satu poinnya menghimbau agar
masyarakat mewaspadai dan berhati-hati terhadap berbagai tawaran Pendidikan Tinggi.
Salah satu yang patut
diwaspadai sebagaimana tertuang dalam pengumuman tersebut adalah jenis
perkuliahan seperti Kelas Jauh, Kuliah Jarak Jauh, Kelas Ekstensi, Pemendekan
Lama Studi, Kelas Akhir Pekan, Program Dipadatkan, Kelas Khusus, atau Kelas
Eksekutif. Pengumuman Ditjen Dikti ini dikeluarkan tanggal 4 Agustus 2000.
Hanya berselang sekitar
satu bulan dari pengumuman di atas, Ditjen Dikti kembali menerbitkan surat
terkait Kelas Ilegal. Kali ini Kelas Ilegal tersebut disinyalir bernama “Kelas
Jauh”. Surat ini ditujukan kepada seluruh Rektor dan Koordinator Kopertis di
Seluruh Indonesia. Poin satu dalam surat tersebut menegaskan, bahwa “Kelas Jauh”
dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan.
Sepertinya pemerintah
mendapatkan perlawanan yang cukup sengit dari para oknum Pendidikan Tinggi.
Setidaknya ini terlihat dari frekuensi surat larangan atau peringatan terkait Kelas
Ilegal tersebut. Dalam rentang yang tidak lama, tepatnya pada tahun 2002,
lagi-lagi Ditjen Dikti menyebar Pengumuman bernomor: 2014/D/T/2002. Intinya
sama, menghimbau masyarakat untuk waspada atas tawaran manis para oknum
Perguruan Tinggi.
Poin kedua salah satu
surat Ditjen Dikti tertanggal 16 Mei 2005 tersebut menegaskan, “Kelas
Jauh/kelas khusus/kelas eksekutif bukanlah terminologi resmi Departeman
Pendidikan Nasional cq. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Dengan demikian
kami tidak mengenal istilah tersebut dan stilah tersebut hanya digunakan oleh
Perguruan Tinggi dalam upaya menarik minat calon mahasiswa. Penyelenggaraan
kelas jauh/kelas khusus/kelas eksekutif tidak sesuai dengan kaidah dan norma Pendidikan
Tinggi, dan kami selalu menindak tegas para penyelenggaranya.”
Selanjutnya, tahun 2007
pemerintah melalui Ditjen Dikti kembali menerbitkan surat larangan. Kali ini,
Ditjen Dikti melayangkannya bukan sekedar pada Koordinator KOPERTIS (Koordinasi
Perguruan Tinggi Swasta) di seluruh Indonesia, tapi juga pada Badan
Kepegawaian, baik di tingkat nasional maupun daerah. Bahkan juga pada Bupati di
seluruh Indonesia. Kuat sekali terkesan, Ditjen Dikti benar-benar ingin
memberangus Kalas Terlarang di seantero Indonesia.
Paragraf ketiga surat
tertanggal 27 Februari 2007 itu bahkan ada menegaskan, “Perlu kami beritahukan
bahwa Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sejak tahun 1997 telah melarang penyelenggaraan
pendidikan model ‘Kelas Jauh dan Kelas Sabtu-Minggu’ dan menetapkan bahwa
ijazah yang dikeluarkan tidak sah dan tidak dapat digunakan terhadap
pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir/penyetaraan bagi pegawai negeri.”
Dari beberapa surat
larangan yang pernah diterbitkan oleh Ditjen Dikti, setidaknya dapat ditarik
kesimpulan, ada beberapa ciri Kelas Ilegal, antara lain; adanya pemadatan
jadwal kuliah, serta penyelenggaraan pendidikan di luar kampus induk tanpa
menghiraukan berbagai pemenuhan sarana pendukungnya.
Pemadatan jadwal kuliah inilah
yang kemudian melahirkan istilah Kelas Sabtu Minggu, Kelas Akhir Pekan, Kelas
Eksekutif, dan lain sebagainya. Sementara penyelenggaraan pendidikan di luar
kampus induk kemudian melahirkan beberapa terminologi seperti Kelas Jauh, Kelas
Jarak Jauh, dan lain sebagainya. Dua karakter ini jelas dilarang oleh
pemerintah, dan secara tegas Dirjen Dikti menyatakan bahwa ijazah yang
diperoleh dari Kelas Ilegal tersebut adalah Tidak Sah.
SELAIN PDD dan PJJ
Jika mendapati adanya
aktifitas perkuliahan di luar kampus induk, boleh jadi ada dua kemungkinan
model pembelajaran yang dipakai. Yang pertama, Prodi Di Luar Domisili (PDD).
Dan yang kedua, Pendidikan Jarak Jauh atau PJJ. Kedua model ini tidak bisa
disebut Kelas Ilegal, karena baik PDD maupun PJJ memiliki payung hukum yang
jelas. Yang jadi masalah adalah ketika ada model abal-abal yang mengaku PDD
atau PJJ, padahal sebenarnya tidak memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi.
Untuk PDD, regulasi yang
menjadi dasarnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan nasional RI Nomor 20 Tahun
2011 tentang Penyelenggaraan Program Studi Di Luar Domisili Perguruan Tinggi.
Perguruan Tinggi manapun boleh menyelenggarakan model PDD ini, tentunya selama
memenuhi persyaratan. PDD adalah pelaksanaan kegiatan pendidikan tinggi oleh
perguruan tinggi di luar domisili perguruan tinggi. Yang dimaksud domisili
adalah wilayah kabupaten/kota tempat penyelenggaraan perguruan tinggi yang
ditetapkan dalam ijin pendirian.
Ada banyak persyaratan
yang mutlak harus dipenuhi untuk model PDD ini, di antaranya; prodi harus
memiliki akreditas A di kampus induk, paling lambat 3 (tiga) tahun prodi di
luar domisili harus memiliki terakreditasi A, harus memiliki penjaminan mutu
yang sama dengan kampus induk, rencana PDD harus sudah tercantum dalam renstra
5 (lima) tahun perguruan tinggi penyelenggara, memiliki tenaga kependidikan
yang khusus ditempatkan di prodi di luar domisili, memiliki lahan sendiri atau
disewa atau dikontark untuk jangka waktu paling sedikit 5 (lima) tahun dengan
hak opsi yang dinyatakan dalam perjanjian, wajib mengajukan izin kepada menteri
dengan melampirkan bukti pemenuhan syarat, serta memiliki akses pada sumber
belajar digital minimal 100 jurnali ilmiah digital per program studi.
Tak jauh berbeda dengan
PDD, PJJ pun menyaratkan beberapa hal sebelum bisa diselenggarakan oleh sebuah
perguruan tinggi. PJJ ini diatur oleh Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI Nomor 24 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh
Pada Perguruan Tinggi.
PJJ adalah pendidikan
yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan
berbagai sumber belajar melalui teknologi informasi dak komunikasi, dam media
lain. Adapun mengetahui persyaratan PJJ, diantaranya adalah ; memiliki dan
mengembangkan sistem pengelolaan dan pembelajaran berbasis TIK, memiliki USBJJ
(Unit Sumber Belajar Jarak Jauh), untuk PJJ prodi wajib memiliki izin Direktur
Jenderal, serta minimal akreditasi B.
Dua peraturan menteri di
atas sudah begitu jelas memberikan batasan, selain pendidikan reguler di kampus
induk, model pendidikan seperti apa yang boleh digelar oleh perguruan tinggi.
Jika masih ada perkuliahan di luar kampus induk tapi tidak memenuhi persyaratan
PDD maupun PJJ, perkuliahan tersebut terindikasi ke dalam Kelas Ilegal.
“Contoh Prodi Di Luar
Domisili bisa dilihat punya Universitas Gadjah Mada (UGM), yang membuka di
Jakarta. Aktifitas akademiknya sama dengan yang dilakukan di kampus induk.
Pengajaran, penelitian hingga pengabdian masyarakat dilakukan di kawasan luar
domisili. Lain lagi dengan Kelas Jauh. Mereka biasanya menggunakan Ruko atau
menyewa Sekolah. Kelas Jauh ini membuka pembelajaran pada Sabtu dan Minggu...,”
demikian penjelasan Achmad Jazidie, Guru Besar ITS yang juga menjabat sebagai
Direktur Kelembagaan dan Kerjasama Ditjen Dikti, sebagaimana dilansir JPPN.com.
Dalam lansiran lain pada
JPPN.com, Achmad Jazidie bahkan menyatakan, “Ini sudah penipuan. Sudah jelas
dilarang, masih saja tetap dilakukan. Selain diselenggarakan di Ruko atau
menyewa sekolah, ciri lain dari Kelas Jauh ini adalah tidak ada satupun
karyawan dari perguruan tinggi yang menjalankan Kelas Jauh. Tidak memiliki
perpustakaan dan sarana penelitian lainnya. Pokoknya kuliah dan pulang.”
TEMUAN BADAR
Demi memperjelas perihal
Kelas Ilegal ini, pertengahan Februari lalu LSM BADAR melakukan audiensi ke
beberapa lembaga strategis, antara lain Dirjen Dikti, BAN PT di Jakarta dan
Kopertis Wilayah IV yang berlokasi di Bandung. Buah tangan dari audiensi dengan
ketiga lembaga tersebut pada dasarnya saling meyakinkan bahwa Kelas Ilegal itu
tidak boleh ada di muka bumi Indonesia.
Selepas mendapatkan
informasi awal mengenai karakteristik Kelas Ilegal, LSM BADAR mencoba melakukan
investigasi di Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya dan Banjar. Hasilnya, setelah
sekitar dua minggu terjun ke lapangan, ternyata cukup banyak indikasi yang
mengarah pada adanya praktik-praktik penyelenggaraan Kelas Ilegal.
Salah satunya tentang
Kuliah Sabtu-Minggu. Kelas Ilegal jenis ini cukup mudah ditemui. Bahkan ada
indikasi ini dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi, baik perguruan tinggi
yang ada di tiga kota tersebut, maupun perguruan tinggi dari luar kota yang
menggelar Kelas Jauh di Ciamis khususnya. “Kami belum bisa menyebutkan
Perguruan Tinggi mana saja yang menggelar Kelas Ilegal seperti Kelas Jauh dan
Kelas Sabtu Minggu. Saat ini kami masih dalam tahap mengumpulkan saksi dan
bukti,” terang Djohan, Ketua LSM BADAR.
Menurut Djohan, tentang
adanya indikasi Kelas Sabtu-Minggu, saat ini (22/02) LSM BADAR telah memiliki
rekaman dengan belasan saksi. “Saksinya ada yang berasal dari mahasiswa,
alumnus, staf perguruan tinggi, masyarakat di sekitar tempat perkuliahan, atau
personil mitra perguruan tinggi.”
Khususnya tentang
indikasi penyelenggaraan Kelas Jauh, Djohan mengaku sudah melakukan audiensi
dengan beberapa pihak. Audiensi tersebut bertujuan untuk memastikan tentang
status atau model apa yang digunakan oleh perguruan tinggi ketika mereka
membuka perkuliahan di luar kampus induk. “Ada yang menyewa ruang sekolah juga.
Dan ketika kami tanya apa model perkuliahan yang digunanakan, apakah PJJ, PDD
atau model sah lainnya, ternyata jawabannya menurut kami tidak tegas, alias
mengambang.”
Terkait dengan beberapa
temuan di lapangan tersebut, LSM BADAR berencana menindaklanjutinya.
“Temuan-temuan kami di lapangan sedang kami susun. Rencananya kami akan
menyerahkan temuan-temuan tersebut kepada pihak-pihak terkait, antara lain:
BKDD Ciamis, Kopertis Wilayah IV, BAN PT dan DIKTI. Bahkan kalau perlu kita
tembuskan ke BKDD Provinsi dan BKN. Kami juga akan memantau terus progress dari
laporan kami tersebut,” tambah Djohan.
Djohan juga menegaskan,
LSM BADAR melakukan semua ini semata-mata atas dasar kecintaan dan kepedulian
terhadap dunia pendidikan dan masyarakat Ciamis khususnya. “Selain itu, apa
yang kami lakukan juga dijamin oleh Undang-undang Sisdiknas, yang menyatakan
bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam pengawasan dan evaluasi program
pendidikan.”
SANKSI
Lalu, apa ancaman sanksi
bagi Perguruan Tinggi yang membandel menggelar Kelas Ilegal? Untuk menjawab
pertanyaan ini, salah satu sumber yang bisa dijadikan rujukan sebagai gambaran
adalah surat yang dikeluarkan oleh KOPERTIS Wilayan I pada tanggal 27 Februari
2013. Surat tentang Larangan Penyelenggaraan Kelas Jauh tersebut menegaskan
bahwa hingga saat ini masih banyak pengaduan masyarakat tentang beberapa PTS
yang masih menyelenggarakan pendidikan Kelas Jauh atau Kelas Sabtu Minggu.
Terkait hal di atas,
KOPERTIS Wilayah I menegaskan akan memberikan sanksi tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu. Adapun beberapa bentuk sanksinya antara lain: Pertama, usulan
kepada Ditjen Dikti untuk mengentikan berbagai layanan untuk Perguruan Tinggi
penyelenggara. Beberapa layanan yang dihentikan antara lain layanan pelaporan
data PDPT, pemberian bantuan hibah, pemberian bantuan pendidikan, perpanjangan
izin prodi, pemrosesan penilaian angka kredit dan kenaikan jabatan, pemberian
tunjangan profesi, pemrosesan sertifikasi dosen dan pemberian Bidikmisi.
Sanksi Kedua,
mengusulkan kepada Ditjen Dikti untuk mencabut izin penyelenggaraan program
studi. Ketiga, menghentikan pemberian beasiswa PPA dan BBM. Dan yang terakhir,
menginformasikan kepada masyarakat melalui media massa.
Satu hal yang juga tidak
boleh dianggap remeh, yakni tentang pernyataan pemerintah mengenai ijazah Kelas
Jauh dan Kelas Sabtu Minggu yang jelas-jelas dianggap Tidak Sah. Persoalan
ilegalitas ijazah ini tidak bisa dianggap sepele terutama ketika dikaitkan
dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku di negeri ini.
Secara tegas pasa 93 dalam Undang-undang tersebut menyatakan adanya ancaman
pindana maksimal 10 tahun penjara dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1
milyar rupiah. Ancaman tersebut bisa dijatuhkan pada perorangan, organisasi
atau penyelenggara pendidikan tinggi.
“Tidak lama lagi musim
mahasiswa baru akan tiba. LSM BADAR menghimbau kepada masyarakat untuk jeli
memilih program studi dan perguruan tinggi. Jangan sampai menyesal, ijazahnya
abal-abal karena mengikuti kuliah ilegal,” pungkas Djohan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar