Majalah BADAR Nomor 03
Tanggal 7 Januari 2014 lalu, Sekretariat Daerah
Pemerintah Kabupaten Ciamis menerbitkan surat bernomor 180/04-Huk/2014. Surat tersebut merupakan jawaban somasi yang
dilayangkan Formuci (Forum Mubaligh Ciamis) pada 16 Desember lalu. Lima lembar
surat tersebut berisi sebelas poin penting, yang pada intinya menjawab beberapa
hal yang dipersoalkan dalam somasi Formuci.
Beberapa poin penting tersebut di antaranya
tentang status tanah. Dalam surat tersebut dijelaskan, bahwa status tanah
adalah milik Pemerintah Kabupaten Ciamis. Sementara yang menjadi panitia
pembangunan adalah YGDI (Yayasan Gedung Dakwah Islam), yang telah mendapatkan
izin berdasarkan Keputusan Bupati Ciamis Nomor 593/KPTS.67.a-Huk/2005 tentang
Izin Pinjam Pakai tanah aset pemerintah daerah tersebut.
Dalam surat tersebut secara tegas
disebutkan, bahwa Gedung Islamic Center adalah milik umat islam di Kabupaten
Ciamis dan merupakan aset milik pemerintah Kabupaten Ciamis. Sementara pihak
yayasan hanyalah selaku pengelola gedung saja. Namun yayasan yang dimaksud di
sini bukan YGDI, tapi YPKI (Yayasan Pusat Kegiatan Islam), yang kabarnya
merupakan nama baru dari YGDI.
Surat yang ditandatangani Sekretaris Daerah
atas nama Bupati Ciamis tersebut juga memaparkan, bahwa pembangunan Gedung Islamic
Center telah berdasarkan asas kepastian hukum, transparansi dan akuntablitias,
karena sejak proses ruislag (tukar
guling), pembangunan dan pengelolaannya telah berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2006, Permendagri Nomor 17 Tahun 2007, serta Peraturan Daerah
Kabupaten Ciamis Nomor 4 Tahun 2008.
Pernyataan di atas tersurat dalam poin 7.b.
dalam surat tersebut. Ada yang sedikit unik, terutama jika dikaitkan dengan
kronologis. Semua dasar hukum yang dicantumkan beridentitas tahun 2006-2008,
padahal, bukankah proses ruislag-nya sudah terjadi sejak tahun 2005? Tidak
menutup kemungkinan, dalam hal ini pihak penerbit surat tersebut lupa
mencantumkan dasar hukum tahun yang lebih sesuai. Misalnya saja Peraturan
Permerintah Nomor 36 tahun 2005.
Poin selanjutnya membahas tentang Surat
Edaran Bupati tentang Gerakan Infaq untuk mendukung pembangunan Gedung IC. Surat
edaran tersebut hanya berbentuk himbauan, berbeda dengan surat keputusan
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah. Jadi, karena sekedar himbauan, menurut Bupati/Pemerintah
Kabupaten Ciamis, gerakan infaq tersebut tidak akan menguntungkan sekaligus
merugikan pihak manapun, termasuk PNS di Kabupaten Ciamis.
Lalu terkait hibah yang kerap diterima
YPKIC, pihak Bupati bersikukuh bahwa hibah yang diberikan untuk YPKIC selama
ini tidak ada masalah, karena sudah sesuai dengan Undang-undang tentang
Yayasan.
Surat ber-kop Sekretariat Daerah Pemerintah
Kabupaten Ciamis tersebut tidak hanya diberikan kepada Formuci selaku penerbit
somasi, tapi juga ditembuskan kepada beberapa pihak, antara lain: Wakil Bupati,
Ketua DPRD Kabupaten Ciamis, Inspektur Kabupaten Ciamis, serta Kepala Dinas
Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah kabupaten Ciamis.
Dibanding belasan poin yang bersifat
klarifikatif, justru pada bagian akhir surat tersebut lebih menarik perhatian
Djohan, Ketua LSM BADAR. “Di bagian akhir ada kalimat kami akan mengkaji dan
mengevaluasi ulang Keputusan Bupati tentang izin pinjam pakai. Kalimat tersebut
jelas mengindikasikan adanya niat baik untuk memperbaiki. Mudah-mudahan ini
menjadi titik terang adanya jalan ishlah. Meski tentu bukan berarti juga
mengesampingkan penegakkan hukum dan aturan yang berlaku.”
Lalu bagaimana sikap Formuci pasca
terbitnya surat jawaban somasi tersebut? Pada 13 Januari lalu Formuci
mengeluarkan Tanggapan atas Jawaban Somasi. Sepintas saja jelas terkesan kuat,
bahwa Formuci masih jauh dari harapan untuk mau bersikap lunak. Bahkan, hampir
di setiap poin dalam surat jawaban tersebut selalu diakhiri dengan kalimat
indikasi pelanggaran yang beresiko pidana penjara.
Jika memang Gedung IC sekarang merupakan
ruislag dari Gedung Dakwah yang dulu dipugar, seharusnya yang melaksanakan
pembangunan adalah pemerintah, bukan yayasan. Dan yayasan seharusnya menerima
dalam bentuk bangunan jadi. Ini adalah tanggapan pertama di surat yang
diterbitkan Formuci tersebut. Bahkan, Formuci menuding pembangunan dengan
mengatasnamakan YGDI terindikasi akal-akalan Bupati untuk menghindari tender
atau merupakan praktek pencucian uang.
Formuci juga mempersoalkan tentang status
tanah. “Tanah Gedung Dakwah itu milik siapa? Sertifikatnya milik siapa? Apakah
milik Pemda juga? Kalau misalkan milik Masjid Agung, berarti tanah yang sekarang
digunakan untuk Gedung Islamic Center seharusnya berstatus milik Masjid Agung.
Itu kalau memang mau sistem ruislag.”
Lebih jauh lagi, Formuci malah mensinyalir,
Bupati telah menyalahgunakan peggunaan tanah milik daerah bekas bengkok Desa
Kertasari. Jika asumsi Formuci benar, itu artinya Bupati telah melanggar KUHP
pasal 424 dengan ancaman 6 tahun penjara, dan Pasal 12 Undang undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan acaman pidana 4 - 20
tahun.
Pada poin selanjutnya, surat Formuci
mengkritisi tentang Keputusan Bupati tentang pemberian izin pinjam pakai tanah
kepada YGDI. Menurut Formuci, memanfaatkan tanah pemerintah daerah tidak cukup
dengan Keputusan Bupati saja, tapi harus melalui perjanjian tertulis (MoU)
antara pemegang hak atas tanah dengan pemilik bagnunan gedung. Dan aturan ini
berlaku bahkan sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 terbit. Karena
sebelumnya ada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 yang bisa dijadikan
acuan.
Formuci juga beranggapan, ketika Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 telah ditetapkan pada 14 Maret 2006, seharusnya
H. Engkon Komara dalam kapasitasnya selaku Bupati Ciamis segera mencabut
keputusannya, karena berlawanan dengan peraturan yang baru, untuk kemudian
menyesuaikan. Karena kekuatan hukum Peraturan Pemerintah jelah lebih tinggi
dibanding sekedar Keputusan Bupati. Lagi-lagi, pada poin ini Formuci mengaitkan
dengan indikasi pelanggaran berbuntut pindana penjara.
Pun demikian halnya dengan Surat Edaran
yang sudah diklarifikasi. Formuci kembali berasumsi, ada indikasi pelanggaran
beresiko pidana.
Dalam surat yang ditandatangi Ketua
Formuci, Rd. Dede Surachman Kartadibrata tersebut, H. Engkon Komara dalam
kapasitasnya sebagai Bupati Ciamis dituntut untuk segera mundur dari jabatannya
sebagai Pembina di YPKIC. Alasannya, karena telah melanggar Undang Undang Nomor
32 Tahun 2004, Pasal 28 Huruf b.
Selanjuntya Formuci juga menuntut Bupati
Ciamis dan/atau Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis untuk secepatnya mengambil
alih pengelolaan Islamic Center dari YPKI. Dalam hal ini, Formuci memberikan
komparasi dengan pengambil-alihan pengelolaan PUSDAI oleh Pemerintah Provinsi
Jawa Barat.
Poin terakhir sebelum penutup surat,
Formuci menyatakan telah melampirkan beberapa pertanyaan yang masih terkait
dengan seputar Islamic Center. Dalam surat tersebut disebutkan, bahwa Formuci
telah menyiapkan bahan laporan untuk disampaikan ke KPK.
Entah sekedar gertak teguran atau memang
sungguhan, Formuci memang telah menyiapkan berkas laporan Indikasi Penyimpangan
seputar Islamic Center. Berkas ini terdiri dari dua lembar, dan berupa tabel peta
masalah. Kabarnya, format tabel ini sudah disesuaikan dengan pedoman yang
dikeluarkan resmi oleh KPK.
Majalah BADAR mencoba melakukan konfirmasi
pada Ustadz Dede selaku Ketua Formuci, sekedar mempertanyakan apa betul ia
berniat membawa permasalahan ini ke ranah hukum sekelas KPK. “Kami sangat
serius. Insya Alloh, saat ini kami sedang dalam tahap menguatkan kebersihan
niat. Agar langkah kami tidak terganggu oleh nafsu, tapi semata-mata untuk
mencari keadilan. Rencananya, kami akan berangkat hari senin atau selasa yang
akan datang (20/21 Januari –red).” Tegas Ustadz Dede kepada Majalah BADAR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar