Majalah BADAR Nomor 02
Siapa yang tak kenal areal Islamic Center Ciamis (IC).
Popularitasnya boleh jadi sama dengan Taman Raflesia, atau tempat lain di
Ciamis yang sudah lama berdiri. Sepertinya tak ada gedung serbaguna lain di
Ciamis sekelas Gedung Dakwah IC, baik dari sisi ukuran luas maupun kemegahan.
Meski pembangunannya belum rampung 100%, namun kemegahan IC sementara ini sudah
cukup representatif untuk jadi kebanggaan masyarakat Ciamis.
Belakangan ini, IC hangat dibicarakan. Dalam satu bulan terakhir,
beberapa kali keberadaan IC jadi bahan pemberitaan di beberapa media lokal. Adalah
Forum Mubaligh Ciamis (Formuci) yang awalnya mempersoalkan keberadaan IC. Forum
yang diketuai Ustadz Dede Surachman ini mensinyalir adanya berbagai masalah
terkait IC. “Ada indikasi kuat IC ini banyak masalah. Mulai dari keberadaan
sampai pengelolaannya,” terang Ust. Dede saat ditemui Majalah BADAR.
Yang pertama, Formuci menyoal Surat Edaran Bupati perihal
gerakan infaq pada PNS. SE Bupati Nomor 451/254.Kesra.02 tersebut menghimbau seluruh PNS di Ciamis
untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk pembangunan IC. Besaran infaq pun
sudah dipatok. Misal, untuk PNS Golongan I minimal Rp. 2.500 per bulan, dan
untuk Golongan IV minimal sebesar RP. 10 ribu. Bagi Formuci, SE Bupati ini
terkesan mengusik rasa keadilan. Ada banyak yayasan di Ciamis, kenapa untuk
YPKI Bupati sampai berani mengeluarkan SE seperti itu. “Bagaimana jika yayasan
lain meminta hal serupa? Apakah boleh?” begitulah pertanyaan Formuci.
Ketika ditanya perihal SE Bupati ini YPKI menjawab singkat,
“itu urusan kewenangan Bupati”. Menurut penjelasan para pengurus YPKI, surat
edaran tersebut kewenangan bupati, termasuk besaran infaq minimal, semua itu
urusan Bupati. YPKI hanya menerima perolehan infaq melalui rekening YPKI di
BJB.
Masih menurut YPKI, gerakan infaq tersebut berjalan selama
tiga tahun, mulai 2010 – 2012. Rata-rata pendapatan dari infaq PNS tersebut
adalah Rp. 100 juta per bulan. Selama tiga tahun, total bantuan PNS untuk
pembangunan IC mencapai Rp. 8.118.876.020,-. Boleh jadi ini
angka yang tidak bisa dibilang kecil jika dilihat sebagai angka sumbangan untuk
sebuah yayasan, setidaknya jika dibandingkan dengan bantuan-bantuan yang biasa
diperoleh yayasan lain yang ada di Ciamis.
Perihal IC yang megah itu memang pasti
berkaitan dengan jumlah uang yang tidak kecil. Sebagai contoh, untuk sekedar
perataan tanah saja, dulu YPKI harus merogoh kocek lebih dari setengah milyar
rupiah. Perataan tanah seluas 31.584 m2 menelain biaya sebesar Rp. 530 juta.
Pengerjaannya dilakukan oleh DPUK Kabupaten Ciamis, sementara uangnya dari
YPIK. Sementara untuk Masjid IC, dana yang keluar adalah Rp. 720 juta. Sebesar
Rp. 420 juta berasal dari shodaqoh atas nama H. Udin, pengusaha dari
Panumbangan. Dan sisanya, Rp. 300 juta dari YPKI. Entah seberapa besar dana
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan semua pembangunan areal IC.
“Sayang sekali, menyerap dana
sedemikian besar, tapi terindikasi tidak dibarengi dengan menempuh prosedur
yang benar,” terang Ust. Dede. Dan ini masalah kedua. Formuci mempertanyakan
status areal IC itu seperti apa. Sebenarnya YPKI sudah berusaha menjelaskan
dalam surat pernyataannya, bahwa status IC itu adalah pengganti Gedung Dakwah
Islam yang dulu berada di sebelah selatan Masjid Agung Ciamis.
Namun belakangan, penjelasan YPKI
tentang status IC ditepis oleh Formuci. Menurut Ust. Dede, status yang kami
pertanyakan adalah terkait dengan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D). Dalam pasal 20 PP tersebut
memang dipaparkan tentang bentuk-bentuk pengelolaan BMD. Ada empat bentuk,
yakni; sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan dan bangun serah guna atau
bangun guna serah. “Status IC itu bentuknya apa?” tegas Ust. Dede.
Majalah BADAR kemudian mecoba
mempertanyakan status tersebut di hadapan para pengurus YPKI. Dan jawabannya
ternyata, menurut YPKI, status IC itu selama tiga tahun ini pinjam pakai. Namun
ketika mau diperpanjang di tahun ke-4, Pemda meminta disewa. YPKI mengaku siap
membayar sewa. Namun hal tersebut belum bisa dilakukan karena masih menunggu SK
Bupati tentang penetapan sewa tersebut. “Kami masih menunggu payung hukumnya
yang belum keluar,” terang pengurus YPKI.
Persoalan selanjutnya justru dari
status pinjam pakai sebagaimana pengakuan pengurus YPKI. Karena menurut PP di
atas, status pinjam pakai hanya diperuntukkan untuk antar pemerintah. Misal
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, atau antar pemerintah daerah.
Pasal 23 PP tersebut menyatakan, “Pinjam pakai barang milik negara/daerah
dilaksanakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, atau antar
pemerintah daerah.” Intinya, sebenarnya tidak ada peluang untuk pihak ketiga
seperti yayasan, untuk mengelola barang milik daerah dalam bentuk pinjam pakai.
Untuk memastikan status IC sebenarnya
apa, Majalah BADAR kemudian melakukan penelusuran informasi. Salah satunya ke
Bidang Aset yang ada di DPPKAD Ciamis. Sayangnya, ternyata hingga saat ini
belum ada selembar arsip pun tentang pengelolaan tanah milik pemda yang sekarang
digunakan areal IC. “Selama ini belum ada MOU antara Pemda, khususnya kami yang
menangani aset, dengan pihak yayasan. Hal itu baru sekarang sedang diproses
dengan Komisi II DPRD. Itupun masih dalam tahap pembahasan, belum menghasilkan
keputusan apapun,” terang Endang, S.Ip., M.Si., Kabid PKD DPPKAD Ciamis.
Mendapati informasi seperti itu dari
Bidang Aset, Majalah BADAR kemudian mencoba mencari informasi tentang
persyaratan standar terkait pendirian sebuah bangunan atau gedung, yakni ijin
mendirikan bangunan alias IMB. Namun lagi-lagi, keterangan yang diperoleh cukup
mengagetkan. Ternyata, pembangunan IC yang menghabiskan biaya milyaran rupiah
tersebut terindikasi tanpa IMB! “Kami sudah berusaha mencari, namun IMB atas
nama YPKI maupun Islamic Center belum ter-register. Artinya belum ada IMB yang
dikeluarkan oleh pemda atas nama YPKI atau IC,” terang petugas Badan Pelayanan
Perijinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Ciamis.
“Ada apa ini sebenarnya. Ironis
sekali jika pembangunan bernilai milyaran rupiah itu ternyata IMB saja tidak
punya. Padahal kabarnya Bupati ikut terlibat dalam pembangunan IC. Coba
bandingkan dengan PKL (pedagang kaki lima) yang tidak berijin, pasti main
gusur!” terang Djohan, Ketua LSM BADAR.
Tidak berhenti di masalah status dan
perijinan, Formuci juga mempersoalkan transparansi pengelolaan keuangan YPKI.
“Ini bukan uang kecil. Karena itu Undang-undang tentang yayasan menyatakan,
untuk yayasan yang mendapat bantuan lebih dari Rp. 500 juta, harus membuat
ikhtisar laporan keuangan tahunan yang baku dan dipublikasikan di Surat Kabar
Harian, serta diaudit oleh akuntan publik. Apakah IC sudah melakukan itu?”
demikian pertanyaan Ust. Dede.
Ditanya demikian, kepada Majalah
BADAR YPKI memberikan penjelasan. Tentang ikhtisar laporan keuangan, YPKI
mengaku pernah mempublikasikan di dua media, sebanyak dua kali. Yakni di media
Ciamis Dinamis dan media XY (nama media disamarkan atas permintaan manajemen
media tersebut kepada redaksi Majalah BADAR). Hingga berita ini ditulis,
Majalah BADAR baru melakukan konfirmasi pada salah satu media yang disebut oleh
YPKI. Sayangnya, media XY tersebut mengaku tidak pernah mempublikasikan
ikhtisar laporan keuangan tahunan atas nama YPKI.
Perihal audit akuntan publik, YPKI
bersikukuh hal tersebut tidak diperlukan. Selain karena biaya akuntan publik
itu mahal, juga karena YPKI menerima dananya bukan dari masyarakat.
Sebagai informasi tambahan, berikut
kutipan isi Undang-undang No. 16 tentang Yayasan, khususnya pasal yang
berkaitan dengan masalah di atas.
Pasal 52.
Ayat (1). Ikhtisar laporan tahunan Yayasan diumumkan pada papan
pengumuman di kantor Yayasan.
Ayat (2). Ikhtisar laporan keuangan yang merupakan bagian dari
ikhtisar laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib diumumkan
surat kabar harian berbahasa Indonesia bagi Yayasan yang :
a. Memperoleh bantuan
Negara, bantuan luar negeri, dan/atau pihak lain sebesar Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun buku; atau
b. Mempunyai kekayaan
di luar harta wakaf sebesar Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh milyar) atau
lebih.
Ayat (3). Laporan keuangan Yayasan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2)
wajib diaudit oleh Akuntan Publik
Sementara itu, menyikapi polemik
seputar IC, Asep Irfan selaku Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Ciamis menyatakan,
bahwa memfasilitasi kepentingan masyarakat adalah kewajiban Pemda. Dan IC
adalah satu dari sekian banyak kebutuhan masyarakat yang keberadaannya perlu
mendapat dukungan dari Pemda dan umat islam khususnya. Keberadaan IC dan layan
yang ditempatinya hari ini tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Umat dan
Ormas Islam di Ciamis yang ingin memiliki tempat yang representatif untuk
pengembangan islam dan sarana dakwah. Karena itu wajib dibantu oleh Pemda.
Adapun terkait dengan berbagai
persoalan yang muncul, menurut Asep, persoalan lahan dan peruntukkan memang ada
salah prosedur, dan itu yang hari ini harus diluruskan dan diselesaikan dengant
anpa mengorbankan monumen kebanggaan Camis dan umat islam Ciamis. Kewajiban
Pemda adalah memperbaiki dan meluruskan secara administratif dan prosedural
pengelolaan aset tersebut kepada lembaga yang bisa merepresentasikan
keterwailan ormas ilam di dalamnya.
Kalaupun aset itu akan diserahkan
tidak ke yayasan tertentu, tapi ke umat islam Ciamis. Dan khusus yang terkait
dengan fungsi, pengelola IC hari ini harus mengembalikan fungsi dari IC untuk
kegiatan dakwah dan sosial kemasyrakatan.
Pada awal perencanaannya saja, IC
memang sudah mengindikasikan masalah. Bahkan kabarnya pernah terjadi konflik
dengan masyarakat setempat, yakni masyarakat Kelurahan Kertasari. Konflik
tersebut dipicu lantaran lahan tersebut tadinya diperuntukkan untuk lapangan
sepak bola untuk masyarakat Kertasari. Rencana Lapang Sepak Bola tersebut juga
dikuatkan oleh data Laporan Rekapotulasi tanah Kas Ekx. Desa Kertasari Tahun
2005, dari Lurah Kertasari ke Camat Ciamis. Sebagai bentuk sambutan niat baik
pemerintah, ketika itu masyarakat Kertasari sudah gotong royong. Bahkan sudah
ada urunan masyarakat untuk pembenahan tersebut. Namun tiba-tiba areal tersebut
digunakan untuk IC.
[Senny Apriani]
Laporan: Syarif Hidayat, Dede Komarudin, Fahmi Faraz
Foto : John Krigjsman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar