Jumat, 04 April 2014

IJAZAH ABAL-ABAL KELAS ILEGAL



Majalah BADAR Nomor 4
HATI-HATI KELAS ILEGAL
Memiliki titel atau gelar akademik sejatinya merupakan sebuah kebanggaan. Bagaimana tidak bangga, karena untuk mendapatkan titel tersebut, seseorang harus melalui sebuah rentang perjuangan yang melelahkan. Mulai dari test saat pendaftaran, opspek, mengikuti jadwal perkuliahan yang ketat, melengkapi berbagai tugas, hingga akhirnya harus berhadapan dengan para penguji pada berbagai jenis sidang.
Sebuah karya tulis ilmiah, skripsi atau thesis, menjadi salah satu saksi, bagaimana seseorang melalui semua itu dengan cucuran peluh. Belum lagi jika menghitung biaya dan waktu yang tersita. Intinya, sangat wajar jika seseorang bangga dengan titel yang dimilikinya, karena memang untuk mendapatkan titel tersebut tidaklah mudah. Maka wajar pula, ketika suasana mengharu-biru selalu saja hadir dalam setiap perhelatan wisuda.

Namun sayangnya, selalu saja ada manusia yang merusak keindahan perjuangan manusia lain. Ketika sebagian mahasiswa begitu menikmati tetes demi tetes keringat demi sebuah gelar akademik, ada manusia lain yang justru menawarkan berbagai hal pragmatis. Misalnya dengan cara menawarkan ijazah melalui kuliah yang serba mudah. Mereka menawarkan perkuliahan dengan model yang sebenarnya ilegal, karena perkuliahan model tersebut dilarang oleh pemerintah. Yang penting bayar, ijazah pasti di tangan, kuliah dijamin kelar.
Oknum seperti ini bukan barang baru di dunia Pendidikan Tinggi. Hal tersebut setidaknya kentara dari sikap pemerintah yang tidak henti-hentinya berusaha memberantas Kelas Ilegal. Biasanya, Kelas Ilegal ini bersembunyi dalam berbagai istilah. Misalnya saja Program Khusus, Kelas Eksekutif, Kelas Akhir Pekan, In-House, Kelas Padat, dan lain sebagainya. Intinya, kuliah mudah, tapi tetap dapat ijazah.
Sejak tahun 1988, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) sudah mengeluarkan larangan untuk praktik Kelas Ilegal yang saat itu disinyalir dilakukan oleh beberapa Perguruan Tinggi. Melalui surat bertanggal 7 Januari 1988, Ditjen Dikti secara tegas menyatakan setiap perguruan tinggi dilarang menyelenggarakan “Program Khusus”. Ketika itu, Kelas Ilegal banyak bersembunyi di balik istilah Program Khusus.
Jika merujuk pada surat yang dikeluarkan oleh Ditjen Dikti tersebut di atas, setidaknya ada tiga indikator untuk mengukur apakah sebuah perkuliahan termasuk ke dalam kategori “Program Khusus” atau bukan. Yang pertama, perkuliahan hanya dilakukan dalam satu atau dua hari secara terus menerus dalam satu minggu. Yang kedua, penerimaan mahasiswa dari kota yang jauh, yang tidak memungkinkan mengikuti perkuliahan dengan sistem SKS. Dan yang ketiga, kondisi pengajar yang diragukan. Jika ada perkuliahan yang memiliki satu saja karakter di atas, maka perkuliahan tersebut dilarang oleh Dirjen Dikti, karena terkategori Kelas Ilegal.
Namun sepertinya para oknum perguruan tinggi pun tidak mau kalah strategi. Ketika pemerintah melarang “Program Khusus”, mereka kemudian mengganti terminologinya dengan beragam istilah lain. Hingga kemudian lagi-lagi Ditjen Dikti harus menegaskan melalui PENGUMUMAN Nomor 1807/D/T/2000, yang salah satu poinnya menghimbau agar masyarakat mewaspadai dan berhati-hati terhadap berbagai tawaran Pendidikan Tinggi.
Salah satu yang patut diwaspadai sebagaimana tertuang dalam pengumuman tersebut adalah jenis perkuliahan seperti Kelas Jauh, Kuliah Jarak Jauh, Kelas Ekstensi, Pemendekan Lama Studi, Kelas Akhir Pekan, Program Dipadatkan, Kelas Khusus, atau Kelas Eksekutif. Pengumuman Ditjen Dikti ini dikeluarkan tanggal 4 Agustus 2000.
Hanya berselang sekitar satu bulan dari pengumuman di atas, Ditjen Dikti kembali menerbitkan surat terkait Kelas Ilegal. Kali ini Kelas Ilegal tersebut disinyalir bernama “Kelas Jauh”. Surat ini ditujukan kepada seluruh Rektor dan Koordinator Kopertis di Seluruh Indonesia. Poin satu dalam surat tersebut menegaskan, bahwa “Kelas Jauh” dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan.
Sepertinya pemerintah mendapatkan perlawanan yang cukup sengit dari para oknum Pendidikan Tinggi. Setidaknya ini terlihat dari frekuensi surat larangan atau peringatan terkait Kelas Ilegal tersebut. Dalam rentang yang tidak lama, tepatnya pada tahun 2002, lagi-lagi Ditjen Dikti menyebar Pengumuman bernomor: 2014/D/T/2002. Intinya sama, menghimbau masyarakat untuk waspada atas tawaran manis para oknum Perguruan Tinggi.
Poin kedua salah satu surat Ditjen Dikti tertanggal 16 Mei 2005 tersebut menegaskan, “Kelas Jauh/kelas khusus/kelas eksekutif bukanlah terminologi resmi Departeman Pendidikan Nasional cq. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Dengan demikian kami tidak mengenal istilah tersebut dan stilah tersebut hanya digunakan oleh Perguruan Tinggi dalam upaya menarik minat calon mahasiswa. Penyelenggaraan kelas jauh/kelas khusus/kelas eksekutif tidak sesuai dengan kaidah dan norma Pendidikan Tinggi, dan kami selalu menindak tegas para penyelenggaranya.”
Selanjutnya, tahun 2007 pemerintah melalui Ditjen Dikti kembali menerbitkan surat larangan. Kali ini, Ditjen Dikti melayangkannya bukan sekedar pada Koordinator KOPERTIS (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta) di seluruh Indonesia, tapi juga pada Badan Kepegawaian, baik di tingkat nasional maupun daerah. Bahkan juga pada Bupati di seluruh Indonesia. Kuat sekali terkesan, Ditjen Dikti benar-benar ingin memberangus Kalas Terlarang di seantero Indonesia.
Paragraf ketiga surat tertanggal 27 Februari 2007 itu bahkan ada menegaskan, “Perlu kami beritahukan bahwa Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sejak tahun 1997 telah melarang penyelenggaraan pendidikan model ‘Kelas Jauh dan Kelas Sabtu-Minggu’ dan menetapkan bahwa ijazah yang dikeluarkan tidak sah dan tidak dapat digunakan terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir/penyetaraan bagi pegawai negeri.”
Dari beberapa surat larangan yang pernah diterbitkan oleh Ditjen Dikti, setidaknya dapat ditarik kesimpulan, ada beberapa ciri Kelas Ilegal, antara lain; adanya pemadatan jadwal kuliah, serta penyelenggaraan pendidikan di luar kampus induk tanpa menghiraukan berbagai pemenuhan sarana pendukungnya.
Pemadatan jadwal kuliah inilah yang kemudian melahirkan istilah Kelas Sabtu Minggu, Kelas Akhir Pekan, Kelas Eksekutif, dan lain sebagainya. Sementara penyelenggaraan pendidikan di luar kampus induk kemudian melahirkan beberapa terminologi seperti Kelas Jauh, Kelas Jarak Jauh, dan lain sebagainya. Dua karakter ini jelas dilarang oleh pemerintah, dan secara tegas Dirjen Dikti menyatakan bahwa ijazah yang diperoleh dari Kelas Ilegal tersebut adalah Tidak Sah.

SELAIN PDD dan PJJ
Jika mendapati adanya aktifitas perkuliahan di luar kampus induk, boleh jadi ada dua kemungkinan model pembelajaran yang dipakai. Yang pertama, Prodi Di Luar Domisili (PDD). Dan yang kedua, Pendidikan Jarak Jauh atau PJJ. Kedua model ini tidak bisa disebut Kelas Ilegal, karena baik PDD maupun PJJ memiliki payung hukum yang jelas. Yang jadi masalah adalah ketika ada model abal-abal yang mengaku PDD atau PJJ, padahal sebenarnya tidak memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi.
Untuk PDD, regulasi yang menjadi dasarnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan nasional RI Nomor 20 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Program Studi Di Luar Domisili Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi manapun boleh menyelenggarakan model PDD ini, tentunya selama memenuhi persyaratan. PDD adalah pelaksanaan kegiatan pendidikan tinggi oleh perguruan tinggi di luar domisili perguruan tinggi. Yang dimaksud domisili adalah wilayah kabupaten/kota tempat penyelenggaraan perguruan tinggi yang ditetapkan dalam ijin pendirian.
Ada banyak persyaratan yang mutlak harus dipenuhi untuk model PDD ini, di antaranya; prodi harus memiliki akreditas A di kampus induk, paling lambat 3 (tiga) tahun prodi di luar domisili harus memiliki terakreditasi A, harus memiliki penjaminan mutu yang sama dengan kampus induk, rencana PDD harus sudah tercantum dalam renstra 5 (lima) tahun perguruan tinggi penyelenggara, memiliki tenaga kependidikan yang khusus ditempatkan di prodi di luar domisili, memiliki lahan sendiri atau disewa atau dikontark untuk jangka waktu paling sedikit 5 (lima) tahun dengan hak opsi yang dinyatakan dalam perjanjian, wajib mengajukan izin kepada menteri dengan melampirkan bukti pemenuhan syarat, serta memiliki akses pada sumber belajar digital minimal 100 jurnali ilmiah digital per program studi.
Tak jauh berbeda dengan PDD, PJJ pun menyaratkan beberapa hal sebelum bisa diselenggarakan oleh sebuah perguruan tinggi. PJJ ini diatur oleh Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 24 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh Pada Perguruan Tinggi.
PJJ adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi informasi dak komunikasi, dam media lain. Adapun mengetahui persyaratan PJJ, diantaranya adalah ; memiliki dan mengembangkan sistem pengelolaan dan pembelajaran berbasis TIK, memiliki USBJJ (Unit Sumber Belajar Jarak Jauh), untuk PJJ prodi wajib memiliki izin Direktur Jenderal, serta minimal akreditasi B.
Dua peraturan menteri di atas sudah begitu jelas memberikan batasan, selain pendidikan reguler di kampus induk, model pendidikan seperti apa yang boleh digelar oleh perguruan tinggi. Jika masih ada perkuliahan di luar kampus induk tapi tidak memenuhi persyaratan PDD maupun PJJ, perkuliahan tersebut terindikasi ke dalam Kelas Ilegal.
“Contoh Prodi Di Luar Domisili bisa dilihat punya Universitas Gadjah Mada (UGM), yang membuka di Jakarta. Aktifitas akademiknya sama dengan yang dilakukan di kampus induk. Pengajaran, penelitian hingga pengabdian masyarakat dilakukan di kawasan luar domisili. Lain lagi dengan Kelas Jauh. Mereka biasanya menggunakan Ruko atau menyewa Sekolah. Kelas Jauh ini membuka pembelajaran pada Sabtu dan Minggu...,” demikian penjelasan Achmad Jazidie, Guru Besar ITS yang juga menjabat sebagai Direktur Kelembagaan dan Kerjasama Ditjen Dikti, sebagaimana dilansir JPPN.com.
Dalam lansiran lain pada JPPN.com, Achmad Jazidie bahkan menyatakan, “Ini sudah penipuan. Sudah jelas dilarang, masih saja tetap dilakukan. Selain diselenggarakan di Ruko atau menyewa sekolah, ciri lain dari Kelas Jauh ini adalah tidak ada satupun karyawan dari perguruan tinggi yang menjalankan Kelas Jauh. Tidak memiliki perpustakaan dan sarana penelitian lainnya. Pokoknya kuliah dan pulang.”

TEMUAN BADAR
Demi memperjelas perihal Kelas Ilegal ini, pertengahan Februari lalu LSM BADAR melakukan audiensi ke beberapa lembaga strategis, antara lain Dirjen Dikti, BAN PT di Jakarta dan Kopertis Wilayah IV yang berlokasi di Bandung. Buah tangan dari audiensi dengan ketiga lembaga tersebut pada dasarnya saling meyakinkan bahwa Kelas Ilegal itu tidak boleh ada di muka bumi Indonesia.
Selepas mendapatkan informasi awal mengenai karakteristik Kelas Ilegal, LSM BADAR mencoba melakukan investigasi di Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya dan Banjar. Hasilnya, setelah sekitar dua minggu terjun ke lapangan, ternyata cukup banyak indikasi yang mengarah pada adanya praktik-praktik penyelenggaraan Kelas Ilegal.
Salah satunya tentang Kuliah Sabtu-Minggu. Kelas Ilegal jenis ini cukup mudah ditemui. Bahkan ada indikasi ini dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi, baik perguruan tinggi yang ada di tiga kota tersebut, maupun perguruan tinggi dari luar kota yang menggelar Kelas Jauh di Ciamis khususnya. “Kami belum bisa menyebutkan Perguruan Tinggi mana saja yang menggelar Kelas Ilegal seperti Kelas Jauh dan Kelas Sabtu Minggu. Saat ini kami masih dalam tahap mengumpulkan saksi dan bukti,” terang Djohan, Ketua LSM BADAR.
Menurut Djohan, tentang adanya indikasi Kelas Sabtu-Minggu, saat ini (22/02) LSM BADAR telah memiliki rekaman dengan belasan saksi. “Saksinya ada yang berasal dari mahasiswa, alumnus, staf perguruan tinggi, masyarakat di sekitar tempat perkuliahan, atau personil mitra perguruan tinggi.”
Khususnya tentang indikasi penyelenggaraan Kelas Jauh, Djohan mengaku sudah melakukan audiensi dengan beberapa pihak. Audiensi tersebut bertujuan untuk memastikan tentang status atau model apa yang digunakan oleh perguruan tinggi ketika mereka membuka perkuliahan di luar kampus induk. “Ada yang menyewa ruang sekolah juga. Dan ketika kami tanya apa model perkuliahan yang digunanakan, apakah PJJ, PDD atau model sah lainnya, ternyata jawabannya menurut kami tidak tegas, alias mengambang.”
Terkait dengan beberapa temuan di lapangan tersebut, LSM BADAR berencana menindaklanjutinya. “Temuan-temuan kami di lapangan sedang kami susun. Rencananya kami akan menyerahkan temuan-temuan tersebut kepada pihak-pihak terkait, antara lain: BKDD Ciamis, Kopertis Wilayah IV, BAN PT dan DIKTI. Bahkan kalau perlu kita tembuskan ke BKDD Provinsi dan BKN. Kami juga akan memantau terus progress dari laporan kami tersebut,” tambah Djohan.
Djohan juga menegaskan, LSM BADAR melakukan semua ini semata-mata atas dasar kecintaan dan kepedulian terhadap dunia pendidikan dan masyarakat Ciamis khususnya. “Selain itu, apa yang kami lakukan juga dijamin oleh Undang-undang Sisdiknas, yang menyatakan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam pengawasan dan evaluasi program pendidikan.”

SANKSI
Lalu, apa ancaman sanksi bagi Perguruan Tinggi yang membandel menggelar Kelas Ilegal? Untuk menjawab pertanyaan ini, salah satu sumber yang bisa dijadikan rujukan sebagai gambaran adalah surat yang dikeluarkan oleh KOPERTIS Wilayan I pada tanggal 27 Februari 2013. Surat tentang Larangan Penyelenggaraan Kelas Jauh tersebut menegaskan bahwa hingga saat ini masih banyak pengaduan masyarakat tentang beberapa PTS yang masih menyelenggarakan pendidikan Kelas Jauh atau Kelas Sabtu Minggu.
Terkait hal di atas, KOPERTIS Wilayah I menegaskan akan memberikan sanksi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Adapun beberapa bentuk sanksinya antara lain: Pertama, usulan kepada Ditjen Dikti untuk mengentikan berbagai layanan untuk Perguruan Tinggi penyelenggara. Beberapa layanan yang dihentikan antara lain layanan pelaporan data PDPT, pemberian bantuan hibah, pemberian bantuan pendidikan, perpanjangan izin prodi, pemrosesan penilaian angka kredit dan kenaikan jabatan, pemberian tunjangan profesi, pemrosesan sertifikasi dosen dan pemberian Bidikmisi.
Sanksi Kedua, mengusulkan kepada Ditjen Dikti untuk mencabut izin penyelenggaraan program studi. Ketiga, menghentikan pemberian beasiswa PPA dan BBM. Dan yang terakhir, menginformasikan kepada masyarakat melalui media massa.
Satu hal yang juga tidak boleh dianggap remeh, yakni tentang pernyataan pemerintah mengenai ijazah Kelas Jauh dan Kelas Sabtu Minggu yang jelas-jelas dianggap Tidak Sah. Persoalan ilegalitas ijazah ini tidak bisa dianggap sepele terutama ketika dikaitkan dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku di negeri ini. Secara tegas pasa 93 dalam Undang-undang tersebut menyatakan adanya ancaman pindana maksimal 10 tahun penjara dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1 milyar rupiah. Ancaman tersebut bisa dijatuhkan pada perorangan, organisasi atau penyelenggara pendidikan tinggi.
“Tidak lama lagi musim mahasiswa baru akan tiba. LSM BADAR menghimbau kepada masyarakat untuk jeli memilih program studi dan perguruan tinggi. Jangan sampai menyesal, ijazahnya abal-abal karena mengikuti kuliah ilegal,” pungkas Djohan.

Tidak ada komentar: