Jumat, 04 April 2014

POLEMIK DI BALIK ISLAMIC

Polemik Di Balik Islamic Center Ciamis

Majalah BADAR Nomor 02


Siapa yang tak kenal areal Islamic Center Ciamis (IC). Popularitasnya boleh jadi sama dengan Taman Raflesia, atau tempat lain di Ciamis yang sudah lama berdiri. Sepertinya tak ada gedung serbaguna lain di Ciamis sekelas Gedung Dakwah IC, baik dari sisi ukuran luas maupun kemegahan. Meski pembangunannya belum rampung 100%, namun kemegahan IC sementara ini sudah cukup representatif untuk jadi kebanggaan masyarakat Ciamis.
Belakangan ini, IC hangat dibicarakan. Dalam satu bulan terakhir, beberapa kali keberadaan IC jadi bahan pemberitaan di beberapa media lokal. Adalah Forum Mubaligh Ciamis (Formuci) yang awalnya mempersoalkan keberadaan IC. Forum yang diketuai Ustadz Dede Surachman ini mensinyalir adanya berbagai masalah terkait IC. “Ada indikasi kuat IC ini banyak masalah. Mulai dari keberadaan sampai pengelolaannya,” terang Ust. Dede saat ditemui Majalah BADAR.

Yang pertama, Formuci menyoal Surat Edaran Bupati perihal gerakan infaq pada PNS. SE Bupati Nomor 451/254.Kesra.02  tersebut menghimbau seluruh PNS di Ciamis untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk pembangunan IC. Besaran infaq pun sudah dipatok. Misal, untuk PNS Golongan I minimal Rp. 2.500 per bulan, dan untuk Golongan IV minimal sebesar RP. 10 ribu. Bagi Formuci, SE Bupati ini terkesan mengusik rasa keadilan. Ada banyak yayasan di Ciamis, kenapa untuk YPKI Bupati sampai berani mengeluarkan SE seperti itu. “Bagaimana jika yayasan lain meminta hal serupa? Apakah boleh?” begitulah pertanyaan Formuci.
Ketika ditanya perihal SE Bupati ini YPKI menjawab singkat, “itu urusan kewenangan Bupati”. Menurut penjelasan para pengurus YPKI, surat edaran tersebut kewenangan bupati, termasuk besaran infaq minimal, semua itu urusan Bupati. YPKI hanya menerima perolehan infaq melalui rekening YPKI di BJB.
Masih menurut YPKI, gerakan infaq tersebut berjalan selama tiga tahun, mulai 2010 – 2012. Rata-rata pendapatan dari infaq PNS tersebut adalah Rp. 100 juta per bulan. Selama tiga tahun, total bantuan PNS untuk pembangunan IC mencapai Rp. 8.118.876.020,-. Boleh jadi ini angka yang tidak bisa dibilang kecil jika dilihat sebagai angka sumbangan untuk sebuah yayasan, setidaknya jika dibandingkan dengan bantuan-bantuan yang biasa diperoleh yayasan lain yang ada di Ciamis.
Perihal IC yang megah itu memang pasti berkaitan dengan jumlah uang yang tidak kecil. Sebagai contoh, untuk sekedar perataan tanah saja, dulu YPKI harus merogoh kocek lebih dari setengah milyar rupiah. Perataan tanah seluas 31.584 m2 menelain biaya sebesar Rp. 530 juta. Pengerjaannya dilakukan oleh DPUK Kabupaten Ciamis, sementara uangnya dari YPIK. Sementara untuk Masjid IC, dana yang keluar adalah Rp. 720 juta. Sebesar Rp. 420 juta berasal dari shodaqoh atas nama H. Udin, pengusaha dari Panumbangan. Dan sisanya, Rp. 300 juta dari YPKI. Entah seberapa besar dana yang dibutuhkan untuk menyelesaikan semua pembangunan areal IC.
“Sayang sekali, menyerap dana sedemikian besar, tapi terindikasi tidak dibarengi dengan menempuh prosedur yang benar,” terang Ust. Dede. Dan ini masalah kedua. Formuci mempertanyakan status areal IC itu seperti apa. Sebenarnya YPKI sudah berusaha menjelaskan dalam surat pernyataannya, bahwa status IC itu adalah pengganti Gedung Dakwah Islam yang dulu berada di sebelah selatan Masjid Agung Ciamis.
Namun belakangan, penjelasan YPKI tentang status IC ditepis oleh Formuci. Menurut Ust. Dede, status yang kami pertanyakan adalah terkait dengan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D). Dalam pasal 20 PP tersebut memang dipaparkan tentang bentuk-bentuk pengelolaan BMD. Ada empat bentuk, yakni; sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan dan bangun serah guna atau bangun guna serah. “Status IC itu bentuknya apa?” tegas Ust. Dede.
Majalah BADAR kemudian mecoba mempertanyakan status tersebut di hadapan para pengurus YPKI. Dan jawabannya ternyata, menurut YPKI, status IC itu selama tiga tahun ini pinjam pakai. Namun ketika mau diperpanjang di tahun ke-4, Pemda meminta disewa. YPKI mengaku siap membayar sewa. Namun hal tersebut belum bisa dilakukan karena masih menunggu SK Bupati tentang penetapan sewa tersebut. “Kami masih menunggu payung hukumnya yang belum keluar,” terang pengurus YPKI.
Persoalan selanjutnya justru dari status pinjam pakai sebagaimana pengakuan pengurus YPKI. Karena menurut PP di atas, status pinjam pakai hanya diperuntukkan untuk antar pemerintah. Misal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, atau antar pemerintah daerah. Pasal 23 PP tersebut menyatakan, “Pinjam pakai barang milik negara/daerah dilaksanakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, atau antar pemerintah daerah.” Intinya, sebenarnya tidak ada peluang untuk pihak ketiga seperti yayasan, untuk mengelola barang milik daerah dalam bentuk pinjam pakai.
Untuk memastikan status IC sebenarnya apa, Majalah BADAR kemudian melakukan penelusuran informasi. Salah satunya ke Bidang Aset yang ada di DPPKAD Ciamis. Sayangnya, ternyata hingga saat ini belum ada selembar arsip pun tentang pengelolaan tanah milik pemda yang sekarang digunakan areal IC. “Selama ini belum ada MOU antara Pemda, khususnya kami yang menangani aset, dengan pihak yayasan. Hal itu baru sekarang sedang diproses dengan Komisi II DPRD. Itupun masih dalam tahap pembahasan, belum menghasilkan keputusan apapun,” terang Endang, S.Ip., M.Si., Kabid PKD DPPKAD Ciamis.
Mendapati informasi seperti itu dari Bidang Aset, Majalah BADAR kemudian mencoba mencari informasi tentang persyaratan standar terkait pendirian sebuah bangunan atau gedung, yakni ijin mendirikan bangunan alias IMB. Namun lagi-lagi, keterangan yang diperoleh cukup mengagetkan. Ternyata, pembangunan IC yang menghabiskan biaya milyaran rupiah tersebut terindikasi tanpa IMB! “Kami sudah berusaha mencari, namun IMB atas nama YPKI maupun Islamic Center belum ter-register. Artinya belum ada IMB yang dikeluarkan oleh pemda atas nama YPKI atau IC,” terang petugas Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Ciamis.
“Ada apa ini sebenarnya. Ironis sekali jika pembangunan bernilai milyaran rupiah itu ternyata IMB saja tidak punya. Padahal kabarnya Bupati ikut terlibat dalam pembangunan IC. Coba bandingkan dengan PKL (pedagang kaki lima) yang tidak berijin, pasti main gusur!” terang Djohan, Ketua LSM BADAR.
Tidak berhenti di masalah status dan perijinan, Formuci juga mempersoalkan transparansi pengelolaan keuangan YPKI. “Ini bukan uang kecil. Karena itu Undang-undang tentang yayasan menyatakan, untuk yayasan yang mendapat bantuan lebih dari Rp. 500 juta, harus membuat ikhtisar laporan keuangan tahunan yang baku dan dipublikasikan di Surat Kabar Harian, serta diaudit oleh akuntan publik. Apakah IC sudah melakukan itu?” demikian pertanyaan Ust. Dede.
Ditanya demikian, kepada Majalah BADAR YPKI memberikan penjelasan. Tentang ikhtisar laporan keuangan, YPKI mengaku pernah mempublikasikan di dua media, sebanyak dua kali. Yakni di media Ciamis Dinamis dan media XY (nama media disamarkan atas permintaan manajemen media tersebut kepada redaksi Majalah BADAR). Hingga berita ini ditulis, Majalah BADAR baru melakukan konfirmasi pada salah satu media yang disebut oleh YPKI. Sayangnya, media XY tersebut mengaku tidak pernah mempublikasikan ikhtisar laporan keuangan tahunan atas nama YPKI.
Perihal audit akuntan publik, YPKI bersikukuh hal tersebut tidak diperlukan. Selain karena biaya akuntan publik itu mahal, juga karena YPKI menerima dananya bukan dari masyarakat.
Sebagai informasi tambahan, berikut kutipan isi Undang-undang No. 16 tentang Yayasan, khususnya pasal yang berkaitan dengan masalah di atas.
Pasal 52.
Ayat (1). Ikhtisar laporan tahunan Yayasan diumumkan pada papan pengumuman di kantor Yayasan.
Ayat (2). Ikhtisar laporan keuangan yang merupakan bagian dari ikhtisar laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib diumumkan surat kabar harian berbahasa Indonesia bagi Yayasan yang :
a.      Memperoleh bantuan Negara, bantuan luar negeri, dan/atau pihak lain sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun buku; atau
b.      Mempunyai kekayaan di luar harta wakaf sebesar Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh milyar) atau lebih.
Ayat (3). Laporan keuangan Yayasan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) wajib diaudit oleh Akuntan Publik
Sementara itu, menyikapi polemik seputar IC, Asep Irfan selaku Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Ciamis menyatakan, bahwa memfasilitasi kepentingan masyarakat adalah kewajiban Pemda. Dan IC adalah satu dari sekian banyak kebutuhan masyarakat yang keberadaannya perlu mendapat dukungan dari Pemda dan umat islam khususnya. Keberadaan IC dan layan yang ditempatinya hari ini tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Umat dan Ormas Islam di Ciamis yang ingin memiliki tempat yang representatif untuk pengembangan islam dan sarana dakwah. Karena itu wajib dibantu oleh Pemda.
Adapun terkait dengan berbagai persoalan yang muncul, menurut Asep, persoalan lahan dan peruntukkan memang ada salah prosedur, dan itu yang hari ini harus diluruskan dan diselesaikan dengant anpa mengorbankan monumen kebanggaan Camis dan umat islam Ciamis. Kewajiban Pemda adalah memperbaiki dan meluruskan secara administratif dan prosedural pengelolaan aset tersebut kepada lembaga yang bisa merepresentasikan keterwailan ormas ilam di dalamnya.
Kalaupun aset itu akan diserahkan tidak ke yayasan tertentu, tapi ke umat islam Ciamis. Dan khusus yang terkait dengan fungsi, pengelola IC hari ini harus mengembalikan fungsi dari IC untuk kegiatan dakwah dan sosial kemasyrakatan.
Pada awal perencanaannya saja, IC memang sudah mengindikasikan masalah. Bahkan kabarnya pernah terjadi konflik dengan masyarakat setempat, yakni masyarakat Kelurahan Kertasari. Konflik tersebut dipicu lantaran lahan tersebut tadinya diperuntukkan untuk lapangan sepak bola untuk masyarakat Kertasari. Rencana Lapang Sepak Bola tersebut juga dikuatkan oleh data Laporan Rekapotulasi tanah Kas Ekx. Desa Kertasari Tahun 2005, dari Lurah Kertasari ke Camat Ciamis. Sebagai bentuk sambutan niat baik pemerintah, ketika itu masyarakat Kertasari sudah gotong royong. Bahkan sudah ada urunan masyarakat untuk pembenahan tersebut. Namun tiba-tiba areal tersebut digunakan untuk IC.

[Senny Apriani]
Laporan: Syarif Hidayat, Dede Komarudin, Fahmi Faraz
Foto : John Krigjsman

Tidak ada komentar: