Jumat, 04 April 2014

KLARIFIKASI BERBUNTUNT TUNTUTAN



Majalah BADAR Nomor 03
Tanggal 7 Januari 2014 lalu, Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Ciamis menerbitkan surat bernomor 180/04-Huk/2014.  Surat tersebut merupakan jawaban somasi yang dilayangkan Formuci (Forum Mubaligh Ciamis) pada 16 Desember lalu. Lima lembar surat tersebut berisi sebelas poin penting, yang pada intinya menjawab beberapa hal yang dipersoalkan dalam somasi Formuci.
Beberapa poin penting tersebut di antaranya tentang status tanah. Dalam surat tersebut dijelaskan, bahwa status tanah adalah milik Pemerintah Kabupaten Ciamis. Sementara yang menjadi panitia pembangunan adalah YGDI (Yayasan Gedung Dakwah Islam), yang telah mendapatkan izin berdasarkan Keputusan Bupati Ciamis Nomor 593/KPTS.67.a-Huk/2005 tentang Izin Pinjam Pakai tanah aset pemerintah daerah tersebut.

Dalam surat tersebut secara tegas disebutkan, bahwa Gedung Islamic Center adalah milik umat islam di Kabupaten Ciamis dan merupakan aset milik pemerintah Kabupaten Ciamis. Sementara pihak yayasan hanyalah selaku pengelola gedung saja. Namun yayasan yang dimaksud di sini bukan YGDI, tapi YPKI (Yayasan Pusat Kegiatan Islam), yang kabarnya merupakan nama baru dari YGDI.
Surat yang ditandatangani Sekretaris Daerah atas nama Bupati Ciamis tersebut juga memaparkan, bahwa pembangunan Gedung Islamic Center telah berdasarkan asas kepastian hukum, transparansi dan akuntablitias, karena sejak proses ruislag (tukar guling), pembangunan dan pengelolaannya telah berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006, Permendagri Nomor 17 Tahun 2007, serta Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis Nomor 4 Tahun 2008.
Pernyataan di atas tersurat dalam poin 7.b. dalam surat tersebut. Ada yang sedikit unik, terutama jika dikaitkan dengan kronologis. Semua dasar hukum yang dicantumkan beridentitas tahun 2006-2008, padahal, bukankah proses ruislag-nya sudah terjadi sejak tahun 2005? Tidak menutup kemungkinan, dalam hal ini pihak penerbit surat tersebut lupa mencantumkan dasar hukum tahun yang lebih sesuai. Misalnya saja Peraturan Permerintah Nomor 36 tahun 2005.
Poin selanjutnya membahas tentang Surat Edaran Bupati tentang Gerakan Infaq untuk mendukung pembangunan Gedung IC. Surat edaran tersebut hanya berbentuk himbauan, berbeda dengan surat keputusan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Jadi, karena sekedar himbauan, menurut Bupati/Pemerintah Kabupaten Ciamis, gerakan infaq tersebut tidak akan menguntungkan sekaligus merugikan pihak manapun, termasuk PNS di Kabupaten Ciamis.
Lalu terkait hibah yang kerap diterima YPKIC, pihak Bupati bersikukuh bahwa hibah yang diberikan untuk YPKIC selama ini tidak ada masalah, karena sudah sesuai dengan Undang-undang tentang Yayasan.
Surat ber-kop Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Ciamis tersebut tidak hanya diberikan kepada Formuci selaku penerbit somasi, tapi juga ditembuskan kepada beberapa pihak, antara lain: Wakil Bupati, Ketua DPRD Kabupaten Ciamis, Inspektur Kabupaten Ciamis, serta Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah kabupaten Ciamis.
Dibanding belasan poin yang bersifat klarifikatif, justru pada bagian akhir surat tersebut lebih menarik perhatian Djohan, Ketua LSM BADAR. “Di bagian akhir ada kalimat kami akan mengkaji dan mengevaluasi ulang Keputusan Bupati tentang izin pinjam pakai. Kalimat tersebut jelas mengindikasikan adanya niat baik untuk memperbaiki. Mudah-mudahan ini menjadi titik terang adanya jalan ishlah. Meski tentu bukan berarti juga mengesampingkan penegakkan hukum dan aturan yang berlaku.”
Lalu bagaimana sikap Formuci pasca terbitnya surat jawaban somasi tersebut? Pada 13 Januari lalu Formuci mengeluarkan Tanggapan atas Jawaban Somasi. Sepintas saja jelas terkesan kuat, bahwa Formuci masih jauh dari harapan untuk mau bersikap lunak. Bahkan, hampir di setiap poin dalam surat jawaban tersebut selalu diakhiri dengan kalimat indikasi pelanggaran yang beresiko pidana penjara.
Jika memang Gedung IC sekarang merupakan ruislag dari Gedung Dakwah yang dulu dipugar, seharusnya yang melaksanakan pembangunan adalah pemerintah, bukan yayasan. Dan yayasan seharusnya menerima dalam bentuk bangunan jadi. Ini adalah tanggapan pertama di surat yang diterbitkan Formuci tersebut. Bahkan, Formuci menuding pembangunan dengan mengatasnamakan YGDI terindikasi akal-akalan Bupati untuk menghindari tender atau merupakan praktek pencucian uang.
Formuci juga mempersoalkan tentang status tanah. “Tanah Gedung Dakwah itu milik siapa? Sertifikatnya milik siapa? Apakah milik Pemda juga? Kalau misalkan milik Masjid Agung, berarti tanah yang sekarang digunakan untuk Gedung Islamic Center seharusnya berstatus milik Masjid Agung. Itu kalau memang mau sistem ruislag.”
Lebih jauh lagi, Formuci malah mensinyalir, Bupati telah menyalahgunakan peggunaan tanah milik daerah bekas bengkok Desa Kertasari. Jika asumsi Formuci benar, itu artinya Bupati telah melanggar KUHP pasal 424 dengan ancaman 6 tahun penjara, dan Pasal 12 Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan acaman pidana 4 - 20 tahun.
Pada poin selanjutnya, surat Formuci mengkritisi tentang Keputusan Bupati tentang pemberian izin pinjam pakai tanah kepada YGDI. Menurut Formuci, memanfaatkan tanah pemerintah daerah tidak cukup dengan Keputusan Bupati saja, tapi harus melalui perjanjian tertulis (MoU) antara pemegang hak atas tanah dengan pemilik bagnunan gedung. Dan aturan ini berlaku bahkan sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 terbit. Karena sebelumnya ada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 yang bisa dijadikan acuan.
Formuci juga beranggapan, ketika Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 telah ditetapkan pada 14 Maret 2006, seharusnya H. Engkon Komara dalam kapasitasnya selaku Bupati Ciamis segera mencabut keputusannya, karena berlawanan dengan peraturan yang baru, untuk kemudian menyesuaikan. Karena kekuatan hukum Peraturan Pemerintah jelah lebih tinggi dibanding sekedar Keputusan Bupati. Lagi-lagi, pada poin ini Formuci mengaitkan dengan indikasi pelanggaran berbuntut pindana penjara.
Pun demikian halnya dengan Surat Edaran yang sudah diklarifikasi. Formuci kembali berasumsi, ada indikasi pelanggaran beresiko pidana.
Dalam surat yang ditandatangi Ketua Formuci, Rd. Dede Surachman Kartadibrata tersebut, H. Engkon Komara dalam kapasitasnya sebagai Bupati Ciamis dituntut untuk segera mundur dari jabatannya sebagai Pembina di YPKIC. Alasannya, karena telah melanggar Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 28 Huruf b.
Selanjuntya Formuci juga menuntut Bupati Ciamis dan/atau Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis untuk secepatnya mengambil alih pengelolaan Islamic Center dari YPKI. Dalam hal ini, Formuci memberikan komparasi dengan pengambil-alihan pengelolaan PUSDAI oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Poin terakhir sebelum penutup surat, Formuci menyatakan telah melampirkan beberapa pertanyaan yang masih terkait dengan seputar Islamic Center. Dalam surat tersebut disebutkan, bahwa Formuci telah menyiapkan bahan laporan untuk disampaikan ke KPK.
Entah sekedar gertak teguran atau memang sungguhan, Formuci memang telah menyiapkan berkas laporan Indikasi Penyimpangan seputar Islamic Center. Berkas ini terdiri dari dua lembar, dan berupa tabel peta masalah. Kabarnya, format tabel ini sudah disesuaikan dengan pedoman yang dikeluarkan resmi oleh KPK.
Majalah BADAR mencoba melakukan konfirmasi pada Ustadz Dede selaku Ketua Formuci, sekedar mempertanyakan apa betul ia berniat membawa permasalahan ini ke ranah hukum sekelas KPK. “Kami sangat serius. Insya Alloh, saat ini kami sedang dalam tahap menguatkan kebersihan niat. Agar langkah kami tidak terganggu oleh nafsu, tapi semata-mata untuk mencari keadilan. Rencananya, kami akan berangkat hari senin atau selasa yang akan datang (20/21 Januari –red).” Tegas Ustadz Dede kepada Majalah BADAR.

Tidak ada komentar: