Minggu, 04 Mei 2014

DIPICU BLANKAR MAUT, SPM PATUT DIRUNUT

Majalah BADAR Nomor 5.

Kira-kira, apa jawaban terbanyak yang akan muncul untuk pertanyaan: Bagaimana kualitas layanan RSUD Ciamis? Entah, boleh jadi belum ada survey resmi terkait hal tersebut. Namun yang pasti, bukan sekali dua kali layanan RSUD Ciamis menjadi buah bibir. Media massa pun lumayan getol mem-publish berita tentang layanan RSUD Ciamis. Terakhir, sekitar awal bulan Maret 2013, lagi-lagi RSUD Ciamis jadi topik gunjingan. Pemicunya adalah blankar maut, yang membuat seorang pasien tersungkur ke lantai.
Adalah Ari (13, alm), pasien asal Desa Petir, Kecamatan Baregbeg. Kabarnya, lantaran terserang flu yang cukup parah, Ari dibawa ke RSUD Ciamis. Menurut keterangan keluarga, selain flu, saat itu Ari juga mengalami gangguan syaraf. Namun, ketika Ari dibawa oleh petugas dengan menggunakan blankar dorong, tiba-tiba roda blankar lepas, dan membuat wajah Ari tersungkur keras ke lantai. Karena merasa tidak mendapatkan pelayanan yang baik, keluarga Ari pun memutuskan pindah rumah sakit. Ari kemudian dibawa ke Permata Bunda. Hanya lima hari di Permata Bunda, karena Ari harus berpulang ke sisi-Nya. Analisa dari Permata Bunda, Ari ternyata mengalami pecah pembuluh darah.

Apakah meninggalnya Ari terkait dengan blankar maut RSUD Ciamis? Wallohu’alam. Yang pasti, menjadi penyebab kematian atau bukan, roda blankar RSUD Ciamis seharusnya tidak boleh lepas dan menyebabkan pasien mengalami kecelakaan.
Peristiwa almarhum Ari hanya satu dari sekian kasus yang pernah terjadi di RSUD Ciamis. Seperti apa sebenarnya kualitas layanan RSUD Ciamis? Sudah cukup maksimalkah upaya dari pihak manajemen? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya jika merujuk pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129/Menkes/SK/II/2008, tentang Standar Pelayanan Minimal Rumas Sakit (SPM RS).
Sebagaimana dijelaskan pada paragraf ketiga dalam Latar Belakang Kepmenkes tersebut di atas, bahwa SPM adalah ketentuan tentang jenis danmutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal. Artinya, semua indikator yang dijabarkan dalam SPM RS wajib dipenuhi oleh semua rumah sakit.
Menurut SPM RS, ada 21 jenis pelayanan rumah sakit yang minimal wakib disediakan. Mulai dari pelayanan gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, bedah, intensif, radiologi, transfusi, keluarga miskin, ambulan, hingga pemeliharaan sarana rumah sakit, laundry dan pemulasaraan jenazah. Masing-masing jenis layanan tersebut memiliki indikator-indikator yang jelas, lengkap dengan standar capaian yang harus dipenuhi oleh setiap rumah sakit.
Misalnya, untuk jenis pelayanan Gawat Darurat, memiliki 9 indikator. Sebut saja salah satu indikatornya misal mengenai Jam Buka Pelayanan Gawat Darurat, yang menurut standarnya harus 24 jam. Atau, indikator Kepuasan Pelanggan, yang menurut standar harus minimal 70%.
Berbekal SPM RS tersebut, Majalah BADAR mencoba melakukan investigasi sederhana, khususnya untuk beberapa indikator yang sangat mudah diukur. Sebagai contoh saja, ada lima indikator yang bisa dengan mudah diamati, bahkan oleh masyarakat umum sekalipun. Kelima indikator tersebut antara lain; Waktu tanggap pelayanan dokter di UGD, keberadaan Dokter Spesialis di Poliklinik, Waktu tunggu hasil pelayanan Thorax Foto, waktu tunggu hasil pelayanan laboratorium untukc ek darah, dan waktu tunggu pengalmbilan obat di apotek.
Waktu tanggap pelayanan Dokter di Gawat Darurat tertuang sebagai indikator nomor 7, pada jenis layanan Gawat Darurat. Menurut standarnya, pasien yang datang ke ruang Gawat Darurat harus terlayani oleh Dokter selambat-lambatnya 5 menit.
Berdasarkan pantauan reporter Majalah BADAR di ruang Gawat Darurat RSUD Ciamis, sebetulnya umumnya pasien yang datang langsung terlayani, bahkan kurang dari lima menit. Dengan kata lain, sejauh pantauan Majalah BADAR selama 3 hari, di ruang Gawat Darurat tidak ada pasien yang dibiarkan lebih dari lima menit. Hanya saja, layanan tersebut bukan dilakukan oleh Dokter, tetapi oleh perawat. Sementara Dokter, baru mendatangi pasien setelah mendapat laporan awal dari perawat. Dan itu dilakukan di dalam rentang lima menit sejak kedatangan pasien.
Indikator kedua tentang Dokter pemberi Pelayanan di Poliklinik Spesialis. Ini indikator nomor satu pada jenis pelayanan Rawat Jalan. Menurut standar, semua dokter di poliklinik seharusnya merupakan Dokter Spesialis. Indikator ini tampaknya belum bisa dipenuhi oleh RSUD Ciamis. Hasil investigasi Majalah BADAR, ternyata masih ada beberapa poli yang terkadang pelayanannya bukan oleh dokter spesialis. Misalnya di Poli Anak, masih ada dokter umum yang terlibat. Atau Poli Bedah, dimana dokter spesialisnya hanya ada hari Rabu dan Sabtu. Atau di Poli Gigi, menurut keterangan petugasnya, poli ini tidak memiliki Dokter Spesialis, yang ada spesialis mulut, itupun dari Tasik.
Indikator ketiga tentang Waktu tunggu hasil pelayanan thorax foto. Indikator yang satu ini termasuk ke dalam jenis layanan Radiologi. Waktu tunggu menurut standarnya adalah tidak boleh lebih dari tiga jam. Artinya, pasien harus sudah menerima hasil foto selambat-lambatnya tiga jam sejak pasien tersebut difoto. Pemantauan Majalah BADAR membuktikan RSUD Ciamis sudah bisa memenuhi indikator yang satu ini, bahkan jauh lebih cepat dari patokan tiga jam. Namun demikian, layanan cepat pada indikator ini hanya bisa dinikmati hari senin sampai kamis saja, karena dokternya hanya tersedia pada rentang hari tersebut.
Lain halnya dengan hasil pelayanan laboratorium, khususnya untuk cek darah. Indikator ini termasuk ke dalam jenis layanan Laboratorium Patologi Klinik. Menurut standar, hasil lab mengenai kimia darah dan darah rutin tidak boleh lebih dari 140 menit. Dalam realitasnya, masih terdapat pasien yang menunggu hasil darah dari jam 8 pagi sampai tengah hari, dan hasil lab belum bisa mereka terima.
Capaian target yang terlihat maksimal ada pada Jenis Layanan Farmasi, khususnya terkait indikator tentang Waktu tunggu pelayanan obat. Menurut ketentuan, untuk obat racikan, standar waktu tunggunya tidak boleh lebih dari 1 jam. Sementara untuk obat jadi, standar waktu tunggunya tidak boleh lebih dari 30 menit. Berdasarkan pantauan Majalah BADAR, waktu tunggu obat ini berjalan dengan normal.
Kelima indikator di atas adalah contoh jenis-jenis indikator yang mudah diamati oleh masyarakat umum. Namun demikian, untuk menilai kualitas layanan RSUD Ciamis secara umum pun tidak mungkin hanya berdasar pada kelima indikator di atas. Total indikator yang bisa diukur berdasarkan SPM RS pada 21 layanan adalah sebanyak 90 indikator.
Majalah BADAR sebenarnya ingin memaparkan lebih jauh tentang gambaran 90 indikator tersebut. Namun sayangnya, pihak manajemen RSUD tidak memberikan respon atas permohonan wawancara yang disampaikan oleh Redaksi Majalah BADAR.
“Di Ciamis masih banyak pejabat atau bahkan lembaga yang lebih memilih tertutup terhadap media. Padahal, justru melalui keterbukaan komunikasi, banyak masalah yang bisa diklarifikasi dan bermanfaat. Bukan saja untuk masyarakat, tapi juga untuk para pejabat atau lembaga tersebut. Terlebih tentang SPM, karena salah satu prinsip SPM menurut ketentuan adalah Terbuka dan Akuntabel. Terbuka dalam arti bisa diakses oleh publik. Dan Akuntabel dalam arti dapat dipertanggung-gugatkan kepada publik. SPM RS ini bisa jadi rujukan bersama,” terang Djohan, Ketua LSM BADAR.
Kembali pada permasalahan yang menimpa almarhum Ari, ada beberapa indikator yang bisa dijadikan rujukan, khususnya indikator yang terkait dengan jenis Pelayanan Pemeliharaan Sarana Rumah sakit. Ada tiga indikator pada jenis layanan ini, antara lain; Kecepatan waktu menanggapi kerusakan alat, dengan target capaian sebesar 80%. Kemudian indikator Ketepatan Waktu Pemeliharaan Alat, dengan target 100%, serta indikator tentang ketentuan kalibrasi untuk peralatan laboratorium dan alat ukur.
“Selain indikator mengenai pemeliharaan sarana, untuk kasus yang menimpa almarhum Ari, sebenarnya ada satu indikator yang juga bisa dijadikan sumber rujukan, yakni indikator pada Jenis Pelayanan Rawat Inap, tepatnya indikator nomor 7. Namun tentunya harus berdasarkan pada investigasi yang akurat dari pihak-pihak yang memiliki kapasitas formal,” terang Djohan.
Bunyi dari indikator yang dimaksud Djohan adalah; “Tidak  adanya kejadian pasien jatuh yang berakibat kecacatan / kematian”. Pasien jatuh adalah kejadian pasien jatuh selama dirawat, baik akibat jatuh dari tempat tidur, di kamar mandi, dan sebagainya, yang berakibat kecacatan atau kematian.  Standar capaian yang dipatok pada indikator ini adalah 100%. Bisa diartikan, peristiwa pasien jatuh seharusnya sama sekali tidak terjadi.
Djohan sangat berharap RSUD Ciamis bisa benar-benar membenahi diri dan dibenahi. “Pihak manajemen harus terus berupaya berbenah, jangan sampai citranya terus-terusan rusak. Selain itu, RSUD Ciamis juga harus dibenahi oleh Pemerintah Daerah. Karena mustahil tidak ada peran strategis Pemerintah Daerah dalam membangun kualitas layanan RSUD Ciamis.”
Apa yang dimaksud Ketua LSM BADAR tentang kata “dibenahi” terkait dengan salah satu konsideran yang terdapat dalam Kepmenkes di atas, yang menyatakan: “Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab sepenuhnya dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajad kesehatan masyarakat di wilayahnya.”
“Intinya, kami dari LSM BADAR juga tidak berharap kasus-kasus layanan RSUD hanya sibuk memojokkan para pelaksana teknis. Kasihan juga mereka. Bahkan kami dapat informasi honor Dokter dan Perawat juga ada yang lambat dibayar. Malah lucu ketika ada anggota DPRD ikut marah-marah tentang kualitas layanan RSUD. Padahal bukankah justru mereka adalah salah satu pihak yang memiliki posisi strategis untuk membangun daerah, termasuk dalam hal ini sarana kesehatan!” Pungkas Djohan.

Tidak ada komentar: